Puasa Dan Upaya Menekan Budaya Konsumtif I

oleh : Deni Gunawan

Tak terasa, bulan puasa sudah datang saja. Iklan-iklan yang khas muncul tiap bulan puasa pun bergentayangan, menandakan bahwa Ramadhan menjadi berkah tersendiri bagi produsen-produsen. Di sisi lain, televisi mulai merubah haluan acaranya ke arah Ramadhan-ramadhanan, pelawak mulai laku di layar kaca televisi, dan ulama-ulama tv juga tak kalah mujurnya, kebagian job di bulan ramadhan untuk mengisi tausiah Ramadhan. Tak ketinggalan juga, harga-harga kebutuhan pokok dipasaran ikut berebut tempat menuju tempat tertinggi. Pada akhirnya konsumen memang mencari itu semua sehingga suply (penawaran) menjadi semakin besar karena demand (permintaan) pun meningkat sementara stok terbatas.

Pada dasarnya puasa adalah salah satu unsur dari agama Islam yang suci. Karena itulah setiap orang Islam yang sudah baligh wajib untuk berpuasa selama bulan Ramadhan, yakni menahan diri demi mematuhi perintah Tuhan dari segala sesuatu yang akan membatalkan puasa sejak azan subuh hingga maghrib. Puasa adalah ibadah suci yang sangat dipuji dan ditekankan dalam Islam. Karena itulah puasa menjadi sarana untuk mencapai takwa, dan ganjarannya langsung dari Allah. Menurut Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, “Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.”.

Takwa adalah capaian dari berpuasa, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 183, bahwa puasa itu diwajibkan agar menjadi takwa. Kata takwa seringkali diulang-ulang dalam ceramah dan khutbah-khutbah, secara sederhana takwa diartikan agar menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pada dasarnya hal-hal yang diperintahkan untuk dijalankan adalah hal-hal yang dapat mendekatkan kita dengan Allah, sebaliknya hal-hal yang dilarang adalah yang akan membuat kita jauh dari-Nya.

Islam mewajibkan puasa bagi pemeluknya satu bulan penuh selama bulan Ramadhan untuk memberikan kesempatan kepada kesalehan yang muncul sepenuhnya dalam diri mereka. Hal ini karena jika seseorang berhasil dari menahan diri untuk memuaskan keinginan fisiknya yang alamiah, dia akan mampu membebaskan diri dari belenggu dorongan-dorongan psikologisnya. Inilah kenapa, jika kita mampu memenuhi persyaratan-persyaratan berkaitan dengan puasa, maka puasa itu akan menjadikan sarana yang kuat untuk memerdekakan diri dari belenggu keinginan, hasrat, nafsu-nafsu fisik, dan pembersihan jiwa dari kotoran dosa-dosa badani.

Puasa tidak cukup hanya dimaknai menahan lapar dan haus untuk sampai pada satu derajat kesempurnaan. Tapi lebih dari itu, Islam tidak hanya memaknai puasa hanya sekaitan dengan penahanan hasrat yang sifatnya fisik saja, sebaliknya, Islam memerintahkan orang yang berpuasa agar menahan diri dari apa pun yang menyebabkan dirinya terjelembab dari kotoran, dosa, dan segala sesuatu yang, dengan dorongan setan, menuntut dorongan-dorongan psikologisnya yang suka membangkang.

Puasa, yang secara sederhana bermakna menahan lapar dan haus dari subuh hingga maghrib seharusnya juga dapat mengurangi beban konsumsi di negeri kita. Tapi pada faktanya sebaliknya, jumlah kebutuhan semakin meningkat yang membuat harga-harga menjadi semakin mahal dan sukar dibeli oleh orang bertaraf hidup rendah. Kenyataannya, logika bahwa puasa dapat menekan jumlah konsumsi sepenuhnya tidak benar dan juga tidak dapat disalahkan. Karena pada dasarnya puasa juga menganjurkan untuk berbuat baik dengan berbagi kepada sesama. Hal ini terbukti dengan pembagian takzil-takzil gratis yang dibagikan oleh orang-orang berpuasa. Meski di sisi lain ada yang secara konsumtif juga membeli berbagai jenis makanan hanya untuk memenuhi hasrat berbuka saja.

Hal inilah yang kemungkinan besar membuat demand terhadap barang-barang kebutuhan pokok meningkat sedangkan stok tidak mencukupi untuk memenuhi demand itu. Meski di satu sisi puasa membatasi jumlah konsumsi kaum muslim, yang tadinya bisa makan lebih dari dua kali kapan saja, kini dibatasi hanya bisa makan pada saat magrib sampai sahur. Jika melihat problem ini, adalah problem klasik yang hampir setiap Ramadhan dan lebaran selalu terjadi di Indonesia. Harga-harga merangkak naik jauh-jauh hari menjelang puasa dan lebaran, sementara di negara-negara lain, katakanlah Malaysia dan Brunei yang notabene masyarakatnya Muslim tidak mengalami problem “seheboh” seperti di Indonesia. Indonesia memang unik, setiap kali perayaan keagamaan. permintaannya bisa jauh lebih tinggi melampaui ambang batas.

Jika menilik makna puasa, harusnya puasa tidak hanya dimaknai sebatas menahan lapar dan haus dari subuh sampai maghrib, jika demikian maka puasa hanyalah sebatas penunggu atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa karena kewajiban samata. Sehingga ketika tiba magrib segala hal dihidangkan di meja makan untuk berbalas dendam atas kelaparan yang ditahan selama sehari. Padahal, puasa adalah cara untuk melawan ingin yang berlebih-lebihan, menahan hasrat dari nafsu-nafsu fisik, dan pembersihan dari dosa-dosa yang sifatnya jasmaniah. Konsumsi yang berlebihan hanya untuk memenuhi hasrat semata bukanlah tujuan hakiki dari puasa atau bahkan bertentangan sama sekali dengan tujuan puasa itu.

Ramadhan diturunkan sebagai bulan untuk berpuasa tidak untuk menjadikan manusia memindahkan jadwal makan dan minum semata. Ramadhan dijadikan bulan berpuasa, agar setiap orang yang beriman dapat memasuki pintu-pintu gerbang rahmat Allah yang dibukanya lebar-lebar. Karena itu, kesucian yang khusus dan kecemerlangan terlihat pada jiwa manusia dan orang-orang yang berpuasa merasakan kesiapan khusus untuk membersihkan jiwanya dari segala bentuk kotoran dan tentunya memperbaharui moral mereka.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.