KH. Hasyim Asy’ari Dalam Bilik Sejarah

pwnubali.or.id – Pada 122 tahun lalu pesantren Tebuireng lahir dengan tanpa memiliki nama. Nama Tebuireng yang dikenal selama ini merupakan nama pendukuhan lokasi pesantren yang kemudian dijadikan sebagai nama pesantren.

 

Bacaan Lainnya

Hal demikian karena pendirinya seorang sufi pengamal faham  dafn al-wujud milik Ibn Athaillah al-Sakandari, Shahib al-Hikam. Menutupi jati diri (mendhem jero) dan tak suka tenar. Persis seperti para Wali Songo yang namanya hilang ditelan nama desa di mana sang wali tinggal. Seperti Sunan Ampel, Derajat, Kudus, Gunung Jati dan seterusnya.

 

Pendiri pesantren Tebuireng sengaja tidak memproklamirkan lembaganya demi mengelabuhi penjajah yang sangat mencurigai santri sebagai sosok paling militan. Makanya, hingga berjalan kurang lebih tujuh tahun, pemerintah Hindia Belanda baru mau mengakuinya. Meski tak bernama, ya Tebuireng itu namanya.

 

Tebuireng pada masa itu merupakan kamp sekaligus pesantren atau pesantren sekaligus kamp. Pengajian kitab salaf yang istiqamah dengan santri yang semuanya sudah dewasa dan memahami keadaan. Pesantren ini membangun pendidikan, menggembleng anak bangsa dengan kurikulumnya sendiri sebelum NKRI lahir.

 

Acap kali kegiatan pengajian kitab di pesantren mendadak libur karena bunyi tembakan bertubi, pertanda penjajah geram terhadap gerilya misterius. Tebuireng diketahui pernah dibom hingga dua kali dan bi idzn Allah selamat.

Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari Kiayi pesantren Tebuireng dan sekaligus seorang ulama aktifis yang sangat peduli terhadap umat dan bukan seorang kiai yang hanya mengajar saja di dalam pesantrennya sendiri. Makanya yang diurus adalah organisasi, termasuk NU dan Masyumi.

 

Pada masa itu masih belum terdapat wadah organisasi untuk menyatukan umat Islam di negeri ini kecuali Masyumi yang merupakan organisasi awal sebagai penyatu umat Islam masa itu dan dipimpin langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari.

 

KH. Hasyim Asy’ari diketahui tidak memiliki karya tulis yang utuh dan monumental, seperti kiai Nawawi Banten atau kyai Mahfudh Termas dan lain-lain. Semua tulisannya adalah kurrasah, kitab praktis sebagai refleksi pemikiran beliau terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah umat.

 

Akan tetapi, fatwa-fatwa KH Hasyim Asy’ari dituangkan dalam tulisan kitab “al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-maulid bi al-Munkarat” yang merupakan bukti kritik dan ketidakrelaan KH Hasyim Asy’ari terhadap segala bentuk kemaksiatan di masyarakat. Tidak seperti kebanyakan ilmuwan sekarang cenderung toleransi, meski hakekatnya lemah iman. Juga lebih hobi berceramah ketimbang menulis. Mungkin karena ceramah itu lebih sederhana dan lebih “ngerejekeni”.

 

Beberapa pemikiran KH Hasyim Asy’ari kini berkembang menjuru terhadap banyaknya unit pendidikan, termasuk Madrasatul Qur’an, Pesantren Sains, Ma’had Aly dan Universitas Hasyim Asy’ari hingga tingkat magister. Tapi sayang, pemikir besar, pejuang mukhlis dan penulis terampil belum nampak. Mudah-mudahan penguasa akedemik sekarang mewarisi sosok KH Hasyim Asy’ari dan tidak money oriented.

 

Saat membaca gelagat sebagian saudara-saudara muslimin menfasilitasi “syiqaq” yang mengarah ke “talak tiga” antara Islam dengan Indonesia, Tebuireng bersama KH Hasyim Asy’ari dan para kiai berusaha merujukkan, bahkan menyelenggarakan  “tajdid al-nikah” pasutri tersebut, “Islam dan Indosesia” seperti ter-blow up dalam komite Hijaz dan lahirnya NU.

 

Saat raja-raja kecil negeri ini sedang lumpuh dihadapan penjajah, para kiai pesantren menghimpun potensi dan kekuatan umat menuju Indonesia merdeka. Tapi di sisi lain ada sebagian yang “dhekem” di pesantrennya sendiri tanpa mau peduli urusan umat. KH. Hasyim Asy’ari memanjatkan doa bernada protes yang berbunyi ”allahumm aiqidh qulub al-ulama min naimihim al-‘amiq…,” yang memiliki arti “Ya Allah, bangunkan hati para ulama dari lelap tidur mereka..”

 

KH. Hasyim Asy’ari juga pernah didatangi oleh gubernur Belanda bernama Ch.C.O Van Der Plash dengan didampingi oleh Ir. Karl Von Smith dengan tujuan agar KH. Hasyim Asy’ari mengikuti gerak politik pada era saat itu. Kedua tamu tersebut membawa peliharaan anjing saat berkunjung, KH. Hasyim Asy’ari lebih memperhatikan kondisi anjingnya yang kepanasan dan memilih tidak memperhatikan pembicaraan yang ditawarkan oleh pihak Belanda tersebut.

 

Setelah adanya penawaran pihak Belanda untuk KH. Hasyim Asy’ari, para santri melakukan puasa selama tiga hari agar KH. Hasyim Asy’ari menolak ajakan Belanda. Pada tahun 1938, menjelang kemerdekaan para kiayi berkumpul di Tebuireng dan diketahui jika di sana telah mengadakan upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. KH. Hasyim Asy’ari benar-benar kiai yang memiliki prinsip tidak mudah apriori terhadap penguasa. Beliau pernah ditawarkan menjadi presiden pertama akan tetatapi beliau langsung menolak dengan halus dan menunjuk Soekarno. KH. Hasyim Asy’ari mengambil peran sebagai ulama’ konsultan yang berkarakter dan kharismatik tanpa ingin menjabat. Tidak menjadikan dirinya terbeli oleh kepentingan, apalagi menjadi tumbal politik yang habis manis, sepah tetap sepah.

 

KHM Yusuf Hayim pernah memanggil penulis karena tahu bahwa penulis dijadwalkan sebagai salah satu pembicara dalam seminar nasional membahas  G 30 S PKI yang arahnya membaca ulang sejarah. Sebagai pelaku sejarah, beliau bicara banyak dan salah satu tesisnya adalah :” Sudahlah.., Sekali Merah, Tetap Merah.”

 

Pada masa lalu NU bergabung dalam Nasakom  (PNI, NU, PKI) dan ternyata hendak disembelih oleh rekanannya sendiri, tapi Tuhan melindungi. Itu fakta sejarah dan “Hanya keledai dungu yang terperosok dua kali dalam satu lobang.” Dan alumni Tebuireng adalah yang lantang berkata :” I’m Hasyim Asy’ari”. Hadana Allah.

 

Penulis: KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.