Resolusi Jihad : Refleksi Kecintaan KH. Hasyim Asy’ari Terhadap Tanah Air

LTN PWNU Bali,

Nahdlatul Ulama (NU) dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan
bangsa, negara dan senantiasa dilandasi oleh dasar sharī’at Islam
dan nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari atas nilai-nilai ke-Indonesia-an dan
semangat nasionalisme yang tinggi, hal ini dapat kita lihat bagaimana latar
belakang Nahdlatul Ulama ini lahir, bagaimana peranannya yang begitu besar
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan keutuhan
NKRI. NU pimpinan KH. Hasyim Asy’ari sangat menjunjung tinggi nilai nilai
kebangsaan, nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.

Bacaan Lainnya

Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dār al-Salām, yang menegaskan keterikatan
Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang
berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul
Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat
melaksanakan syariat agamanya dengan bebas dan aman. Pandangan
Nahdlatul Ulama bahwa perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah
Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan
setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap
Allah yang Mahakuasa. Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah
jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang
dimaknai sebagai jihād fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan
negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan
bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas” (QS. al-Baqarah: 190)

Dari dasar al-Qur’an ini maka Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat bahwa
jihad memerangi penjajah Belanda wajib hukumnya, disinilah pimpinan NU
terutama KH. Hasyim Asy’ari sebagai komandan organisasi NU ikut mendukung
upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad, Hasilnya
pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama di kantor
NU Jawa Timur mengeluarkan keputusan resolusi jihad itu. Walaupun oleh karenanya KH.
Hasyim Asy’ari diancam hendak ditangkap Belanda, namun KH. Hasyim Asy’ari
tidak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Ḥizbullāh dan
Sabīlillāh melawan penjajah. Bahkan ketika Bung Tomo meminta KH. Hasyim
mengungsi dari Jombang, Kiai Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah
penghabisan, hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi
hukum) populer di kalangan kelompok tradisional NU; ḥubbu al-waṭan min alimān
(mencintai tanah air adalah bagian dari iman).

Semangat dakwah anti kolonialisme sudah melekat pada diri KH. Hasyim
sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. KH. Hasyim
pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam,
berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk
penjajahan. Sikap anti penjajahan juga sempat membawa KH. Hasyim masuk
bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai
kebudayaan Saikerei yaitu menghormati Kaisar Jepang Tenno Heika dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi
sekitar pukul 07.00 WIB. Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali,
baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di
pesantren-pesantren. Namun KH. Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya
haram dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai
rukū’ dalam shalat, hanya diperuntukkan menyembah Allah. Menurut
KH. Hasyim Asy’ari, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap
Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu Dewa Langit.
Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, KH. Hasyim Asyari yang sudah
berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian
dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan Surabaya. Selama dalam
tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk
tak lagi bisa digerakkan.

Itulah pemikiran NU yang sangat gigih menentang segala bentuk penjajahan
hukumnya wajib karena perintah agama, hal ini sejalan dengan garis
perjuangan ulama-ulama pendahulunya yang senantiasa memberikan hukum
wajib jihad untuk mengusir Belanda, sebagaimana mengutip pendapat dari
ulama Palembang yaitu Syekh Abd al-Shamad al-Palimbany, yang mengatakan
bahwa perang melawan orang kafir hukumnya farḍu ‘ain berlaku apabila
orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin. Seluruh penduduk berkewajiban
mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin. Bahkan, bila
terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin
wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya
bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan lawan.

Beliau berpendapat bahwa seluruh masyarakat turut andil dalam jihad
sesuai kemampuannya masing-masing, seperti memberikan akomodasi ataupun
menjaga harta dan keluarga mujahiddin yang ditinggal perang. Sikap sikap
seperti inilah yang ditunjukan oleh NU dan mayoritas ulama di Indonesia
dalam memberikan fatwa jihad memerangi terhadap penjejajah Belanda.

 

Dikutip dari: Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, 251-284

NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN KONTRIBUSINYA
DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN DAN
MEMPERTAHANKAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

(dad/LTN PWNU Bali)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.