Bagaimana Pencuri yang Ingin Tobat, Namun Tidak Menemukan Pemiliknya?

pwnubali.or.id – Mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya merupakan sebuah tindakan haram yang sering terjadi. Entah itu yang berjumlah sedikit atau banyak serta yang bernilai yang kecil hingga yang besar. Semua harus di[pertanggung jawabkan dihapadan sang Khalik.

Namun ada beberapa diantara mereka dengan seiring berjalannya waktu muncul rasa penyesalan hingga timbul keingingan untuk bertaubat. Sehingga dalam proses bertobat, ia ingin mengembalikan barang curian tersebut. Sayangnya dalam saat upaya mengembalikan barang hasil curiannya, Dia tidak dapat menemukan pemiliknya. Lantas bagaimanakah sebaiknya?

Bacaan Lainnya

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengutip sebuah artikel yang diterbitkan oleh nu.or.id, yang menjawab pertanyaan dari seorang penanya yang ingin bertobat karena telah mencuri buah mangga. Tapi sayangnya ia tidak menemukan pemiliknya. berikut penjelasan yang disampaikan oleh Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, dalam artikelnya.

Menurutnya, Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Al-Baihaqi dari Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu, dan tertuang di dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi Umar al-Jawi, atau yang biasa dikenal dengan panggilan Syekh Nawawi Banten. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: kullu lahmin nabata min suhtin fa al-naru aula bihi (setiap daging yang tumbuh dari perkara yang haram, maka api adalah lebih utama baginya dibanding perkara haram tersebut).

Di dalam kesempatan yang lain juga disampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

  وَلاَيَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرامٍ فَيُنفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ وَلاَيَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إلاَّ كاَنَ زَادَهُ إلى النّارِ إنَّ اللّهَ لاَ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالسَّيْءِ وَلكِنْ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالْحَسَنِ إنَّ الْخَبِيْثَ لاَ يَمْحُوْ الْخَبِيْثَ

“Tiada seseorang bekerja dengan cara haram, lalu setelah mendapatkan kemudan ia infakkan harta itu lantas ia beroleh keberkahan. Tiada pula karena bersedekah dengan harta itu, lantas kemudian ia menjadi seorang yang diterima (amal ibadahnya). Tiadalah ia karena meninggalkan harta itu ke ahli warisnya, melainkan justru semakin mendekatkannya ke api neraka. Ketahuilah sesunguhnya Allah subhanahu wata’ala tiada menghapus suatu keburukan dengan keburukan. Namun, Allah hanya akan menghapus suatu keburukan lewat jalan kebaikan. Sesungguhnya keburukan tiada menghapus keburukan” (HR al-Baihaqi).

Apa yang disampaikan dalam hadits ini merupakan penghasilan yang diperoleh lewat jalan bekerja. Adanya menjadi perhatian disebabkan rezeki itu harus masuk ke perut, sehingga tumbuh menjadi daging. Bila daging tumbuh dari perkara haram, maka nerakalah yang kelak pasti akan menjadi hisabnya. Lantas, bagaimana lagi bila penghasilan itu didapat dari jalan mengambil hak orang lain? Sudah barang tentu, imbasnya akan lebih besar dan lebih berat hisabnya kelak di akhirat.   Untuk itulah, maka di dalam Islam, berlaku yang namanya upaya mencari pelebur (kafarat) dari dosa yang pernah dilakukan.

Jika dalil asal cara bertobat dari mengambil hak orang lain adalah dengan cara mengembalikan fisik materi dari hak itu, apalagi dalam kasus pencurian, maka bila tidak ditemui adanya pihak yang layak menerima hak tersebut untuk dimintai ridhanya, maka solusinya adalah dengan melakukan amal kebaikan. Hal ini sebagaimana bunyi eksplisit hadits yang menyatakan bahwasannya “iringilah perbuatan yang buruk (sayyiah) dengan perbuatan yang baik (hasanah) sebagai peleburnya!” (wa atbi’is sayyiatal-hasanata tamhuha).

Itu artinya, perbuatan baik dengan tujuan melebur perbuatan buruk yang terlanjur dilakukan memang bisa menjadi solusi meski hal itu belumlah sempurna. Sebab, sempurnanya pelebur adalah mengembalikan hak. Selama tidak bisa kembali, maka melakukan perbuatan baik, hanyalah merupakan sarana yang paling realistis dibanding tidak sama sekali. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh (segala sesuatu bila tidak bisa dilakukan menurut idealitasnya, ya jangan ditinggalkan seluruhnya). Meski tak seluruhnya, minimal sebagian dari idealiatas itu harus dilakukan. Semoga menjadi pelebur.

Sejauh mana perbuatan baik itu akan dilakukan? Seperti apa ukurannya?

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan, yaitu “wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin” (pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik). Jadi, kisaran kafarat pencurian itu ada pada kisaran idealitas pengembalian, berbuat baik, dan aksi sosial. Alhasil, wasilah yang paling dekat dalam konteks ini, adalah dengan jalan berbuat kebaikan dalam bentuk materi kepada masyarakat. Caranya, ya berbuat sedekah kepada masyarakat, minimal adalah senilai barang curian itu. Tentu, lebih besar adalah lebih baik, sebab bagaimanapun sedekah ini cuma solusi alternatif akibat kendala menemukan pemilik harta yang kita curi.

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi inspirasi kebaikan bagi para pembaca! Ada banyak kisah yang bisa kita temui untuk dijadikan dasar pedoman. Termasuk kisah ayah dari Imam Abu Hanifah atau Imam Al-Syafi’i (dalam sebagian versi) yang pernah mengambil buah apel yang jatuh di sungai dan hanyut tanpa diketahui pemiliknya. Bagi seorang yang wara’ (senantiasa menjaga perkara halal dan haram yang dikonsumsi), tentu mengambil sesuatu yang statusnya tidak jelas ini menjadi sebuah permasalahan.

Imbasnya, kita bisa rasakan sendiri sehingga sekarang, kedua keturunan dari beliau-beliau ini, menjadi ulama mujtahid mutlak. Pendapatnya banyak diikuti oleh umat Islam di hampir seantero wilayah dunia. Berkah dari riyadlah dan kehati-hatian sang orang tua, akhirnya lahir generasi unggul. Wallahu a’lam bish shawab. (MM)

sumber : https://islam.nu.or.id/post/read/126227/saya-pernah-curi-mangga–ingin-bertobat-tapi-tak-menemukan-pemilikinya?_

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.