Relevansi Skincare pada Kartini Muda

pwnubali.or.id – Apabila berbincang terkait perempuan rasanya tiada hentinya, selalu ada topik dan celah dalam setiap pembahasan. Baik pembahasan intern maupun ekstern. Segala yang menempel pada diri perempuan mampu menjadi headline yang menggugah, entah itu fashion, make up, skincare, tutur kata, dan apa pun itu.

Make up identik dengan perempuan, skincare juga. Tapi seiring berjalannya waktu, rasanya skincare sekarang tidak melihat gender yang artinya dapat digunakan oleh siapa saja entah itu laki-laki maupun perempuan. Tapi tetap saja klasemen pertama dalam dunia per-skincare-an masih diduduki oleh perempuan.

Skincare dan perempuan saat ini memang sulit untuk dipisahkan. Kepuasan menggunakan skincare juga dirasakan oleh masing-masing perempuan. Beberapa dari mereka merasa lebih nyaman menggunakan skincare dari pada make up. Selain itu menggunakan skincare juga dapat meningkatkan kepercayaan diri.

Skincare saat ini memiliki banyak jenis varian berdasarkan jenis kulit dan keluhan yang dialami konsumen. Ada yang kulit wajahnya kering, kusam, berjerawat dan lain-lain. Dilihat dari para perempuan  pengguna skincare memang ada perubahan sebelum dan sesudah menggunakan skincare. Selain dari varian skincare, harga dan brand juga ikut mempengaruhi. Sebagian besar perempuan saat ini menggunakan skincare dari negeri gingseng atau yang sedikit mengarah ke sana. Wajar memang karena kiblat kulit yang mulus dan licin saat ini memang mengarah ke sana.

Adanya fenomena skincare yang menjamur tidak dapat terlepas dari adanya budaya pop, istilah itu meminjam dari Ariel Hertanto. Jika budaya pop khususnya K-Pop sebelumnya lebih mengarah pada boyband, girlband maupun drama korea (K-Drama), kini kebudayaan merawat diri dari negeri gingseng juga di adopsi di Indonesia. Modernisasi seperti ini tentunya bentuk dari ekspresi kebebasan identitas di era global.

Tapi bagaimana apabila skincare menjadi syarat kelas dari masyarakat, khususnya perempuan?

“Kamu pakai skincare apa sih?”

“Harga skincare-mu berapa?”

“Aku gak cocok pakai skincare itu, murah soalnya.”

“Aku cocok pakai skincare ini tapi harganya ya gitu, mahal”

Hayo siapa yang sering mendengar atau berkata begitu? Memang dunia per-skincare-an saat ini sedang naik daun. Tapi bagaimana jika obrolan dalam circle pertemanan khususnya lingkungan perempuan muda yang hanya tentang skincare? Padahal ada yang lebih menarik dan bermanfaat dari pada itu.

Jika sekali atau dua kali wajar dan normal. Tapi jika setiap pertemuan baik itu hangout, jalan-jalan atau sekedar duduk bersama dan masih membahas skincare beserta harganya, kupikir itu akan menjadi menyebalkan (annoying) dan racun (toxic).

Menyebalkan karena yang dibahas itu-itu saja dan itu pun juga pernah dibahas. Menjadi racun (toxic) karena secara tidak langsung brand dan harga skincare mendistrak alam bawah sadar bahwa skincare yang orang lain gunakan jauh lebih bagus dan mahal dari pada yang digunakan sebelumnya, selain itu di situ akan memunculkan jiwa kompetitif. Kompetitif dalam hal brand dan harga skincare.

Padahal perempuan Indonesia dulu banyak menggunakan brand lokal maupun tradisional dalam menunjang penampilan khususnya urusan wajah atau bahkan tidak menggunakan skincare. Toh mereka juga tetap mempesona di saat itu, Pun demikian karena kebutuhan dan dorongan ‘keinginan’ saat ini yang membuat perempuan ekstra memperhatikan dirinya.

Banyak perempuan Indonesia dulu maupun sekarang yang merepresentasikan perempuan yang anggun, tangguh, kuat dan berpendidikan yang kemudian digambarkan dalam sosok R.A. Kartini. Selain beliau masih banyak perempuan Indonesia menjadi panutan  seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, dan masih banyak lagi. Di era saat ini banyak juga influencer dan penulis perempuan yang inspiratif. Namun kembali lagi pada skincare, hal demikian semakin menonjol dipertontonkan oleh perempuan kota. Bagaimana tidak, di era global seperti ini trend bertumbuh secara pesat memasuki dunia perempuan. Terlihat untuk tetap segar dan elok untuk dipadang menjadi salah satu syarat tersirat dalam pekerjaan. Oleh karenanya tidak heran apabila perempuan kota lebih memperhatikan skincare dalam menunjukkan eksistensi dirinya.

Jika hal yang demikian terus berjalan, maka tidak menutup kemungkinan circle atau lingkungan tersebut akan menjadi racun yang tentunya tidak sehat. Pakailah skincare yang memang cocok dan dibutuhkan, karena selain ‘skin’ atau kulit yang harus diperhatikan ada kata ‘care’ yaitu peduli. Peduli pada diri sendiri untuk mendapat lingkungan dan dunia yang sehat. Sehat untuk mental dan sehat untuk diri. Terkadang perempuan saat ini gengsi untuk menyampaikan hal tersebut sehingga membuat dirinya tetap dalam lingkungan yang dapat dikatakan toxic.

Penulis : Imriatun Muchlisoh

Sumber: Hertanto, Ariel. (2015). Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: Gramedia Pustaka)

Sumber Foto : https://muslimahdaily.com/details/itemlist/tag/Beauty.html?start=200

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.