Gunung Agung : Antara Ikhtiar Dan Doa

Antusiasme masyarakat Bali akan berita kondisi terkini Gunung Agung meningkat seiring peningkatan status dari level Waspada ke level Awas. Khususnya info tentang hijrahnya warga penduduk sekitar Gunung Agung yang ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB) oleh pemerintah menuju daerah-daerah yang dianggap lebih aman. Dari awal proses eksodus itu hingga mencapai puncaknya di kisaran angka 140 ribu jiwa, hingga kini (7/10/17) kondisi Gunung Agung sendiri belum menunjukkan tanda-tanda akan terjadi erupsi.

Kondisi ini menimbulkan kegelisahan pada setiap komponen masyarakat yang terlibat langsung, baik para pengungsi, pemerintah daerah, hingga para relawan. Ditambah lagi info-info yg beredar di media (khususnya medsos) yang banyak memunculkan berita-berita yang tidak akurat. Beban psikologis inilah yang sekarang muncul menjadi masalah baru yang tidak sederhana, sebab dalam ketidakpastian ini semua menjadi terkesan canggung dalam memutuskan tindakan yang tepat dalam setiap situasi di lapangan, terlebih dalam ranah teknis, dan mengakibatkan pembengkakan biaya operasional disebabkan arahan teknis kebijakan yang sering berubah-ubah. 

Bacaan Lainnya


Oleh karenanya sangat lah penting agar semua dapat menahan diri, mengambil nafas sejenak, sembari menyimak hikmah dari semua yang terjadi, dan berusaha memahami secara jernih akan kehendakNya. Menghilangkan sedikit rasa ‘ke Aku an’ dalam diri masing-masing, serta menumbuhkan rasa apresiatif terhadap usaha yang telah dilakukan oleh yang lain dapat lebih memupuk ikatan emosional antar semua pihak yang terlibat, sehingga muncul rasa saling memahami dalam keterikatan yang positif dan kondusif. Dalam kondisi seperti ini yang dibutuhkan adalah kekuatan bersama di segala aspek, dan itu sejatinya telah mengakar budaya dalam masyarakat Bali, baik warga asli maupun pendatang yang terbukti tangguh menghadapi masalah-masalah yang dihadapi secara bersama, khususnya bencana alam ataupun kejadian lainnya.
Aplikasi rasa Empati terhadap kondisi para pengungsi hendaknya diwujudkan dengan lebih memandang sisi kemanusiaan, tidak hanya kepentingan kelompok/golongan, hingga bahkan sisi politis. 

Tuhan telah memberikan kita jalan untuk berekonsiliasi antar sesama dengan caraNya. Mampukah kita mengambil dan menempuhnya?

(dad)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.