PANCASILA ADALAH KITA

Deni Gunawan

Meski sudah hampir seabad negeri ini merdeka, namun rasa-rasanya pola dan tingkah pikir manusia Indonesia umumnya masih itu-itu saja, berdebat seputar ‘saya yang paling benar’. Sudah maklum, dengan segala keragamannya Indonesia memiliki Pancasila sebagai perekat kebangsaan di antara berbagai kebhinekaan yang ada.

Sayangnya, warisan luhur bernama Pancasila itu masih saja ‘dipermasalahkan’ bahkan lebih-lebih dipermaikan. Tak heran bila akhir-akhir ini Presiden Jokowidodo terlihat kesal dan berang dengan kondisi masyarakat yang tak henti-hentinya melakukan perdebatan yang tidak produktif. Tidak produktif ini karena perdebatan ini ujung pangkalnya bermuara pada caci maki serta fitnah satu dengan yang lain.

Sayapun sepakat bila pada akhirnya Presiden berkesimpulan bahwa energi positif bangsa habis digunakan untuk hal yang remeh temeh dan tidak produktif. Hal yang remeh temeh itu tidak lain seputar perdebatan agamaku, sukuku, kelompokku paling benar sembari disertai dengan menjelekkan dan menyalahkan pihak lain. Siappun tentu harus meyakini keyakinanya sebagai yang benar, tapi keyakinan yang disertai penghakiman dan perendahan terhadap yang lain tentu tidak bisa dibenarkan, bahkan tidak tepat.

Indonesia bukanlah bangsa yang satu, ia merupakan kesatuan dari bangsa-bangsa yang merekat tali hubungannya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena Indonesia adalah negara dengan kumpulan bangsa-bangsa maka diperlukan satu konsepsi (Idiologi) yang sifatnya universal yang mampu menampung dan mewadahi itu semua. Sebab, jika dipaksakan untuk menggunakan idiologi yang diyakini pergolongan saja maka dipastikan terjadilah kekacauan. Ini karena tak semua orang bisa menerima.

Karena itulah ndonesia perlu ‘satu rumah besar’, tidak hanya besar tapi juga nyaman ditinggali dan bisa menampung segala macam bangsa dan keyakinan di dalamnya. Pancasila adalah jawaban atas fakta demografi dan sosio-kultur bangsa Indonesia ini. Pancasila hadir dari penggalian serius tentang itu semua oleh para Founding Fathers kita yang datang dari berbagai golongan. Pancasila adalah sebuah idiologi atau konsep umum (universal) yang didesain untuk dapat menampung segala bentuk kebhinekaan bangsa. Ia adalah konsensus dari sebuah kerja serius dan luhur tentang nilai-nilai luhur bangsa dari Sabang hingga Rote.

Pancasila dihadirkan agar dapat merekatkan segala macam bentuk keragaman tersebut dalam satu kesatuan, tidak hendak menjadikan satu dalam arti semua seragam dan sama, namun ia hadir untuk menyatukan semua keberagaman yang ada dalam cita-cita yang sama yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila tidak hendak menghilangkan keyakinan-keyakinan, menafikan agma-agama, atau menegasikan suku-suku dan bangsa-bangsa. Tidak, Pancasila hadir untuk merangkul semua, menjembatani semua itu agar dapat saling bahu membahu dan saling pengertian menuju Indonesia yang bermartabat dan sejahtera.

Dengan nilai ketuhanan di puncak sila dan keadilan sosial di pamungkas serta serta nilai-nilai kemanusian, persatuan dan kerakyatan di tengah-tengah menjadi nilai hidup kita dalam berbangsa dan bernegara. Yang beragama dikehendaki agar selalu menuju Tuhan yang satu dengan segala kejujurannya dalam beragama dan berkeyakinan, lalu nilai-nilai keshalehan vertikal itu kemudian turun ke bumi dalam bentuk kemanusiaan dan persatuan yang semua orang dipandang sama dalam asas kerakyatan hingga sampailah spirit ketuhanan tersebut pada suatu masayarakat adil dan sejahtera. Hanya dengan masyarakat yang adil dan sejahteralah kebertuhanan sejati dapat diresapi.

Pancasila adalah kita, kita yang bermacam-macam itu, yang berbhineka dan memiliki karakter khasnya masing-masing yang kemudian secara ikhlas dan mufakat ingin hidup berdampingan menuju masyarakat yang ber-Tuhan dan berkeadilan. Orang diberikan kebebasan untuk melakukan dan meyakini apapun dalam negara Pancasila asal tidak mencederai nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, mufakat serta keadilan tadi. Pancasila menjamin orang melakukan ini dan itu sesuai keyakinannya selama itu dipertanggungjawabkan.

Di dalam negara Pancasila, orang berhak dan harus bangga meyakini jiwanya sebagai seorang Bali, misalnya, tapi pada saat yang sama jiwanya juga meletakkan Jawa, Batak, Sunda, Bugis, Papua, Melalyu, dll. hadir di dalam jiwanya. Itulah Indonesia, pada saat yang sama ia lahir dari suku ini, pada saat itu juga suku-suku lain hadir sebagai bagian dari ‘keluarga’ jiwanya.

Karenanya, dan memang sudah sepatutnya, perdebatan ‘saya paling benar’ dan pemaksaan satu idiologi tertentu untuk dipaksakan seragam sudah harus dihentikan. Kerja kita hari ini sudah seharusnya untuk menuju Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan itu. Sudah waktunya kita mengejar segala bentuk ketertinggalan dan ketermarjinalan dalam semua aspek dari bangsa lain. Kalau toh harus ada perdebatan, maka perdebatan itu harus menghasilkan sesuatu yang produktif dan kreatif. Sebagaimana perdebatan para Founding Fathers dalam mewujudkan Indonesia merdeka dan menghasilkan ruh bangsa, Pancasila. Perdebatan ke arah kekacauan, pencacian, penghakiman, dan hal-hal yang mengarah pada sesuatu yang menimbulkan ke-jumud-an dan ekses negatif harus segera dikubur dalam-dalam.

Tabanan, 26 Mei 2017.

Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Jembrana dan Koordinator Bidang Kaderisasi dan Intelektual PC PMII Jaksel, peminat kajian-kajian agama yang rasional, penggemar buku-buku sosial, filsafat dan sufistik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.