Arafah

Mengapa Wuquf di ‘Arafah?

Mengapa tidak di Mina?
Mengapa tidak di Muzdalifah?
Mengapa tidak di depan Ka’bah?

Ini bukan sekedar persoalan tanah lapang untuk menghimpun jutaan orang.

Ini falsafah agung mengenai kesadaran

Wuquf itu berhenti sejenak; Ia sebuah jeda dalam rangkaian empat bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab)

‘Arafah itu tempat mengenal untuk menjemput kesadaran diri

Wuquf di ‘Arafah itu sebuah ikhtiyar memaknai jeda dalam kehidupan agar dapat menjemput ma’rifah. Ma’rifat adalah maqam tertinggi dalam perjalanan mengenal Tuhan.

Karena itu Wuquf mensyaratkan sikap i’tirâf. I’tirâf adalah sebuah pengakuan akan kesalahan-kesalahan, pembangkangan atas perintah, pengkhianatan atas peran kehambaan dan kekhalifahan, pemakluman atas kejumawaan, pelanggaran atas spirit kemanusiaan.

‘Arafah menghimpun jutaan orang. Itu artinya ada jutaan keragaman yang harus dikenali. Pemahaman akan perbedaan harus dimulai dari Ta’arruf. Ta’arruf adalah ikhtiyar saling mengenali, bukan kesombongan minta dikenal. Ta’arruf adalah mutualisme peran yang saling aktif memperkenalkan agar tidak ada klaim yang memunculkan ego merasa paling benar.

Proses Wuquf di ‘Arafah itu merupakan suluk (perjalanan mencari) paling sublim dalam mengenal Tuhan. Sebuah ibadah personal di tengah-tengah perkumpulan manusia sejagat. Suluk ini disebut proses ‘Irfâni. ‘Irfân adalah puncak pengetahuan, di mana peran manusia sepenuhnya tunduk dalam kemahakuasaan Tuhan. Dia yang memilih siapa hamba yang diizinkan menerima “wahyu” kesadaran. Bahkan Musa ‘alaihissalam harus menjalani pembelajaran kepada hamba yang Shâlih yang terlebih dahulu diberikan ‘Irfân; dialah Khidir yang disembunyikan.

Seseorang yang berhasil menjemput kesadaran di ‘Arafah disebut al-‘Arif billâh; ia telah mengenal Tuhan. Al-‘Arif billâh adalah maqam paling tinggi dalam tasawwuf, yaitu orang yang sudah Ma’rifat. Cirinya, ia merasakan dua sifat utama; keberanian dan ketenangan, lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn.

Perilaku al-‘Arif billâh itu diliputi samudera kebajikan, penuh ketulusan dalam melayani kehidupan, tanpa pamrih dalam beramal, sarat dengan karya kebermanfaa’tan. Agama menyebut perilaku ini dengan Ma’rûf; sebuah perilaku yang pantas dan mudah dikenali. Lisannya bertutur santun, karyanya menabur kemaslahatan, akhir hidupnya selalu dikenang.

‘Arafah itu sebuah proses i’tirâf yang berta’arruf dalam medium ‘Irfân yang mengantarkannya pada maqam al’Ârif billâh yang menghasilkan perilaku ma’rûf dalam kehidupan yang dijalaninya.

Tapi, selesaikah proses itu hingga di sini?

Sama sekali belum. Berwuquf itu seperti berislam. Ia belum selesai hanya dengan menyempurnakan rukun Islam. Berislam itu sikap hidup penuh keberserahan, kelembutan, kedamaian dan keselamatan yang harus dipelihara hingga kematian datang menjelang.

Pelakunya disebut Muslim. Artinya orang yang beragama Islam juga dapat dimaknai pelaku kedamaian. Huruf sin, lam, mim (salima) sebuah akar kata yang membentuk kata salâm (damai), islam (kedamaian), istislâm (pembawa kedamaian), dan taslîm (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan). Salâm adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian lebih umum. Islâm adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian yang lebih khusus, memiliki seperangkat konsepsi nilai dan norma. Istislâm adalah seruan kedamaian dan kepasrahan yang lebih cepat, tegas, rigid dan sempurna.

Seharusnya seorang muslim (orang yang beragama islam) itu mengedepankan kedamaian, ketundukan, kepasrahan dan pada akhirnya merasakan ketenangan lahir dan batin.

Tentu menjadi kontradiktif jika panji-panji islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan, kebencian dan ketidaknyamanan. Apa lagi jika atas nama islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa, sangat tidak sepadan dengan kata islam tu sendiri.

Saya kira kita harus lebih memaknai islam dalam sifatnya yang inklusif-substantif, sehingga seruan kedamaian yang kerap kita suarakan akan lebih mudah kita wujudkan. Dan Insyâ Allah semua gagasan luhur ini sudah dimulai oleh kita yang merindukan kedamaian, baik yang sedang berhaji ataupun tidak. Terutama untuk saudaraku yang sebentar lagi berwuquf di ‘Arafah oleh karena seusai Wuquf perilaku ma’rûf akan menginisiasi lingkungan mereka untuk berlomba-lomba dalam kebajikan.

Fastabiqul khairât

QS 2/148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ayah Enha
Refleksi Jelang Wuquf 1438 H

Sumber: Tasawuf.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.