Panglima Resolusi Jihad NU, KH Abbas Buntet; Angkatan Udara Nahdlatul Ulama

dok. foto https://maarifnujateng.or.id/

pwnubali.or.id – Siapa yang tidak kenal dengan Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet Cirebon. Ia adalah salah satu santri pertama Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan terhadap Pesantren Tebuireng pada awal berdirinya, terutama saat diganggu oleh para penjahat dan berandal lokal di sekitar Pabrik Gula Cukir, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng. Kiai Abbas juga lah yang diminta langsung oleh Kiai Hasyim untuk mengajari para santri bela diri dan kanuragan.

Dengan keberanian tersebut beliau menjadi salah satu kiai pejuang pada masa revolusi. Kiai Abbas juga merupakan kiai kharismatik yang dikenal karena pengetahuan keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan yang menjadikan beliau sebagai rujukan strategi dalam perang kemerdekaan.

Bacaan Lainnya

Kiai yang lahir pada hari Jumat, tanggal 24 Dzulhijjah 1300 H/ 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat ini berperan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satunya dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Ia dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama, yang menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA dalam perang kemerdekaan di Surabaya tersebut. Uniknya, Kiai Abbas menggunakan bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan pesawat tempur musuh.

Kiai Abbas juga mengajarkan bela diri terhadap santri maupun masyarakat guna melawan para penjajah. Beliau menggembleng santri agar semangat memperjuangkan agama dan negara. Bahkan, Pesantren Buntet, atau yang sebenarnya bernama Buntet Pesantren, juga menjadi markas latihan Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan PETA. Kiai Abbas juga membentuk dua regu Laskar Santri yang bernama Asybal dan Athfal.

Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di Surabaya tahun 1945. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. M. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris dan NICA. Tetapi Kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kiai Abbas, sebagai laskar andalan, datang ke Surabaya.

Selain seorang pejuang revolusi, beliau juga merupakan sosok pemimpin pesantren yang perjuangannya banyak sekali dalam mengembangkan sistem madrasah dan bandongan di Pesantren Buntet. Pengakuan historis menyebutkan bahwa pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pondok Pesantren Buntet berkembang pesat dalam bidang pendidikan umum dan keagamaan. Yang dikembangkan beliau adalah sistem dan metode pengajaran serta mata pelajarannya baik dalam khazanah tradisional maupun modern.

Dengan demikian yang membedakan dengan para pendahulunya adalah bahwa beliau mengembangkan dan mempraktikkan sistem pendidikan dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi (kelasikal), di samping mempraktikkan metode klasik, sorogan, bandongan dan ngaji pasaran.

Beliau telah berhasil dalam mengembangkan sistem pembelajaran perpaduan antara sistem pendidikan tradisional dan sistem modern. KH Abbas adalah seseorang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi dan pejuang yang hebat. Beliau merupakan salah satu tokoh sentral NU. Dalam memimpin Pesantren Buntet Cirebon sangat mirip dengan gaya kepemimpinan ayahnya, KH. Abdul Jamil. Pada tahun 1928 bertepatan dengan terjadinya Sumpah Pemuda, KH Abbas membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu dengan mendirikan Madrasah Abnaul Wathan Ibtidaiyah yang di dalamnya mengajarkan pendidikan umum.

Yang paling menarik dalam sistem pendidikan yang beliau bangun ini adalah mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, tetapi tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab karya ulama Mesir seperti tafsir Tantowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu maka pengajaran ushul fiqh mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju.

Bukan hanya itu saja, dalam mengajarkan ilmu fiqih, beliau juga memberi pandangan yang begitu luas mengenai perbandingan madzhab yang pada masa itu yang di pesantren lain masih dianggap tabu. Bukan hanya itu saja, namun kitab-kitab umum modern juga beliau ajarkan seperti ilmu hisab (Aritmatika), al Jughrafiyah (Geografi), al Lughah al Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at Thabi’iyyah (Ilmu Alam), dan Tarikh al Wathan (Sejarah Kebangsan).

Salah satu pemikiran Kiai Abbas yang sangat terkenal dan dapat mengubah paradigma pengelolaan pesantren adalah bahwa beliau menggambarkan pesantren itu seperti pasar. Menurut beliau, baik pesantren maupun pasar keduanya harus melayani siapa saja yang datang tanpa memandang jenis kelamin, domisili, usia, status sosial, latar belakang, dan lain-lain. Di samping itu jenis kebutuhannya tidak sama. Orang datang ke pasar karena butuh beras, daging, terigu, sayuran, cabai, garam, dan lain-lain. Begitu pula orang datang ke pesantren butuh ilmu qira’at, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tafsir atau belajar baca.

Oleh karena itu beliau menganjurkan kepada semua kiai dan semua ustadz yang menguasai ilmu tersebut harus mampu melayani santri yang datang. Gambaran seperti itulah yang sering disampaikan Kiai Abbas kepada keluarganya. Hal tersebut dimaksudkan untuk merangsang mereka supaya sama-sama berperan aktif dalam berkiprah di Pesantren Buntet untuk meneruskan perjuangan leluhurnya.

Dengan strategi inilah Kiai Abbas berhasil menyamakan persepsi dengan keluarganya dalam mengembangkan pesantren. Langkah Kiai Abbas berikutnya adalah memobilisasi keluarga kemudian melaksanakan pembagian tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Selain tokoh revolusi kemerdekaan dan pembaharu sistem pendidikan beliau juga merupakan tokoh sufi pejuang revolusi di Indonesia. Beliau adalah seorang mursyid tarekat Syattariyah dan muqaddam tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai dengan pemikiran yang terbuka. Ketika beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah, Kiai Abbas menerima sebagai salah satu alternatif dalam laku batin.

Awal mula perkembangan tarekat Tijaniyah di Jawa Barat dari Pondok Pesantren Buntet yang diawali dengan pengangkatan tiga ulama sebagai perintis utama (Muqoddam) di Indonesia. Tiga ulama yang dimaksud adalah Kiai Abbas, Kiai Anas, dan Kiai Akyas.

Begitu banyak perjuangan dan kiprah kiai Abbas untuk pesantren juga untuk Indonesia. Namun perjuangan beliau harus berakhir pada tahun 1946. Beliau wafat pada hari Ahad waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Pesantren Buntet. Sebelumnya beliau jatuh sakit lantaran kecewa dengan sikap para diplomat Indonesia yang sangat lemah, dan banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Pada saat itu Kiai Abbas sangat terpukul dan merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya, pejuang revolusi dan kemerdekaan itu wafat.

Sumber http://tebuireng.org

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.