KHR Syarif Rahmat, Ulama NU Berperan Merawat Keberagaman

PWNUBALI.OR.ID – Denpasar 

PCNU Kota Denpasar Selasa malam (9/7) menghadirkan Pengasuh Ponpes Ummul Qura’ Tangerang KHR. Syarif Rahmat RA. SQ.MA dalam Tabligh Akbar di Masjid Agung Sudirman Kodam IX Udayana.

Bacaan Lainnya

Para jama’ah yang mayoritas warga Nahdliyyin kota Denpasar terlihat hadir memadati masjid yang berada di pusat kota itu. Termasuk diantara jamaah adalah beberapa jajaran Syuriah PWNU Bali yaitu, KH Ahmad Qosim dan KH Saefudin Zaini yang mendampingi Kiai Syarif Rahmat bersama Ketua PCNU Kota Denpasar H Pudjianto.

Kiai Syarif Rahmat dikenal sebagai salah satu ulama NU yang gencar menyosialisasikan pemahaman konsep Islam Nusantara agar dapat dipahami sebagai karakter mayoritas muslim Indonesia dalam beragama dan bernegara yang diwariskan para Ulama Nusantara yang menjadikan Indonesia saat ini dapat tetap tegak bertahan ditengah kemelut politik identitas agama diseluruh dunia, khususnya di negara-negara timur tengah.

Menurutnya banyak Umat muslim di Indonesia saat ini terjebak dalam ideologi organisasi dengan balutan baju agama sehingga secara tidak sadar lupa akan esensi ajaran Islam sebenarnya sebagai ‘Rahmatan lil ‘alamin’.

Kiai Syarif mengatakan bahwa perbedaan kerap ditemui dalam memahami al Qur’an dan al Hadits oleh para Ulama salaf, namun semua dapat saling menghormati dan tidak saling menyalahkan, bahkan makin memperkaya khazanah keilmuan yang diwariskan hingga sekarang.

“Itulah inti ajaran Islam sesungguhnya. Maka ulama seperti Prof. Quraish Shihab atau juga Kiai Ali Yafie tidak pernah menyesatkan orang yang berbeda pendapat dan faham dengan mereka”, ujarnya dalam pengajian bertema ‘Merajut kembali tenunan rasa kebangsaan’ tersebut.

“Meyakini faham salah satu dari 4 madzhab yang diakui adalah boleh dan harus dilakukan seorang muslim, yang tidak boleh adalah menganggap dirinya paling benar dan selain mereka adalah salah dan sesat.” tegas kiai Syarif kemudian.

Banyak contoh-contoh yang dijelaskan Kiai Syarif saat memberi ceramah dihadapan para jama’ah yang hadir malam itu, salah satunya perbedaan dalam memahami penyebutan ‘Bismillah’ sewaktu membaca surat Al Fatihah dalam praktek sholat. Ini menegaskan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dalam memahami al Qur’an dan al Hadits bahkan oleh para Ulama pada masa awal Islam.

“Dalam konteks bernegara, sikap para Ulama tersebut dalam perbedaan menjadi salah satu dari 3 azas dalam organisasi Nahdlatul Ulama yaitu tawasuth, tasamuh, dan tawazun sebagai sikap yang diperlukan dalam merawat keberagaman Nusantara”. pungkasnya.

(dad)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.