Kisah Ibrahim-Ismail; Pengabulan Impian Terletak di Puncak Kepasrahan

????????????????????????????????????????????????????????????

Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mampu berkurban dengan menyembelih seribu kambing, tiga ratus sapi dan seratus unta, para malaikat yang menyaksikannya terheran-heran dan memuji-muji Nabi Ibrahim. Merasa mendapat pujian para malaikat di langit, Nabi Ibrahim bangga seraya berkata, “Apa yang telah saya kurbankan belumlah seberapa, jika pun aku mempunyai anak pastilah aku korbankan untuk Allah”.

Peristiwa ini terus berlalu sampai Nabi Ibrahim sendiri lupa dengan apa yang pernah ia katakan. Sehingga suatu ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk berhijrah menuju Syam. Berangkatlah Nabi Ibrahim menuju Syam dengan berdo’a, “Rabbi hab li minas shalihin”, -“wahai Tuhanku, karuniakan aku anak yang saleh”. (QS. Ash-Shaffat: 100)

Bacaan Lainnya

Permohonan yang tulus itu, akhirnya dikabulkan oleh Allah. Istri tercinta Nabi Ibrahim as, Siti hajar melahirkan seorang bayi laki-laki tampan putih dan kemudian diberi nama Isma’il. Tujuh tahun sudah -menurut riwayat lain tiga belas tahun-, Ibrahim hidup bersama putranya, ismail, didampingi istrinya, Siti Hajar.

Di saat putranya sedang tumbuh dewasa, tiba-tiba, di suatu malam Nabi Ibramin diingatkan akan ucapannya yang pernah dikatakan puluhan tahun sebelumnya, “Wahai Ibrahim, laksanakanlah nadzarmu, kurbankanlah anakmu”. Nabi Ibrahim tercengang dan merenung “Betulkah ini perintah dari Allah ataukah semata bisikan setan”. Hari itulah yang kemudian disebut dengan “Yaum at-Tarwiyah”.

Pada akhirnya, Nabi Ibrahim diingatkan oleh Allah hingga benar-benar yakin bahwa suara yang membisiki dirinya adalah perintah dari Allah. Tentu, dengan perasaan yang gundah Nabi Ibrahim berusaha bagaimana tetap menjalankan perintah Allah yang memang akibat dari ucapan Nabi Ibrahim sendiri.

Tepat pada hari ketiga dari Nabi Ibrahim diingatkan, Nabi Ibrahim membawa Nabi Ismail tanpa memberitahu istri, Siti Hajar. Sesampainya di tempat tujuan, Nabi Ibrahim akhirnya menjelaskan kepada Nabi Ismail tentang mimpi yang dialaminya. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai buah hatinya, Nabi Ibrahim baru menjelaskan dan kemudian bertanya kepada Nabi Ismail untuk meminta pendapatnya.

Subhanallah, Nabi Ismail yang masih kecil itu ternyata sudah memahami tentang perintah Allah yang harus dilaksanakan. Sehingga, meski dirinya harus dikorbankan demi menjalankan perintah Allah, Nabi Ismail pasrah saja. Sementara Nabi Ibrahim sesungguhnya tidak ingin kehilangan anak tercintanya. Namun, jika hati sudah tertanam keimanan yang dalam dan kepasrahan yang tiada batas, hanya Allah yang menjadi harapan dan tujuan.

Nabi Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah. Begitu juga Nabi Ismail yang masih lugu tidak kalah pasrah dengan ayahandanya, Nabi Ibrahim. Namun, Allah yang Maha Kasih dan Sayang, lebih mengerti tentang hati hamba-Nya. Nabi Ismail pun diselamatkan oleh Allah atas Kasih Sayang-Nya.

Dari kisah Nabi Ibrahim ini banyak hikmah yang perlu kita petik. Namun dari sekian hikmah yang paling utama adalah pengabulan impian atau harapan  terletak di puncak kepasrahan. Atau kata lain, kepasrahan adalah kunci utama untuk meraih apa yang kita impikan. Sekuat apapun usaha kita akan masih kalah dengan kepasrahan. Maka apapun impian kita, usahakanlah dengan teriring kepasrahan untuk meraihnya.

Nabi Ibrahim yang begitu sangat berharap untuk memiliki putra, namun setelah doanya dikabulkan ternyata putra yang sudah terlahir dan tumbuh dewasa tiba-tiba disuruh sembelih. Sungguh sangat berat. Antara takut kehilangan dan ketaatan memenuhi perintah menjadi satu pada titik pasrah. Kepasrahan Nabi Ibrahim berwujud pengabulan impiannya untuk tetap memiliki putra, Nabi Ismail. Tepatnya, di puncak kepasrahan, Nabi Ibrahim meraih impian dan harapan untuk tetap memiliki putra.

Maka, ketika kita memiliki harapan atau impian, ternyata harapan atau impian itu belum terkabulkan padahal usaha sudah maksimal, begitu juga doa sudah dimohonkan, maka yakinkanlah hati kita untuk berpasrah. Berpasrah untuk tetap berusaha atau berpasrah menunggu hasil dari apa yang kita usahakan.

Dan, tetaplah lakukan dan jalani meski harus menahan sakit dan derita. Karena untuk menghilangkan rasa sakit dan derita obatnya pasrah. Leburkan rasa sakit dan derita kita dengan rasa pasrah yang kuat dan dalam. Yakin! Pengabulan impian kita berada di puncak kepasrahan. Di sanalah kita akan meraih impian kita. Pasrah, pasrah dan pasrah.

Author: M. Muhammad

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.